Koridor

Kamar Santri.

Halaman Utama

Halaman utama Pesantren.

Minggu, 22 Juli 2012

Renungan

Pandailah Mensyukuri Nikmat

Bismillahirrohmanirrahim

Hal terpenting dalam kedudukan kita selaku kaum yang beriman adalah bersyukur.Kondisi yang bagaimanpun kita hadapi tiadalah boleh terlepas dari rasa syukur.Sebab fitrah setiap manusia selaku hambaNya sejak kita diperkenankan Allh SWT untuk hadir di muka bumi ini telah diberkahi dengan karunia yang terbesar,yaitupendengaran(ash sham’a),penglihatan(al abshar),dan hati(al af’iidah).
Yang Allah SWT mintakan kepada hambaNya adalah agar pemberian yang fitri itu dibalas dengan kesyukuran sebagai perwujudan rasa terima kasih para hamba padaNya atas pemberian karunia yang mahal nilainya itu.Firman-Nya:”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun,dan Dia memberimu pendengaran,penglihatan,dan hati,agar kamu bersyukur” (Q.S.An Nahl:78)
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak memiliki sesuatu apapun.Hanyaseorang bayi yang sungguh tiada memiliki daya dan upaya.Selanjutnya,Allah SWT telah memberikan ketetapan tentang tempat berkehidupan atau bermukimnya sekalian anak manusia itu di bumi Nya,yang mana di dalamnya diperlrngkapi dengan berbagai sumber kehidupan.Tapi apa daya,ketika anak manusia itu tumbuh dan berkembang mereka lupa pada asal muasal keberadaan dirinya,karena kebanyakan mereka tidak pandai bersyukur. “Sesungguhnya Kami telah menempatakan kamu sekalia, di muka bumi da Kami adakan bagimu di muka bumi(sumber)penghidupan.Amat sedikitlah kamu bersyukur.”(Q.S.Al A”raaf:10).
Ketika kita rangkaikan kedua ayat di atas maka ia menjadi sebuah peringatan::Allah beri anak-anak manusia itu kesempatan hidup di muka bumi dengan ketersediaan segala fasilitas untuk hidup dan kehidupan,namun kebanyakan mereka kurang pandai mendayagunakn,penglihatan,pendengaran,
Astaghfirrullah…..itulah yang harus banyak kita ucapkan setiap saat,ada satu ayat lagi yang berbunyi,”Sesungguhnya jika kamu bersyukur,pasti Kami akan menambah(ni’mat)kepadamu,dan jika kamu mengingkari(ni’mat Ku),maka sesungguhnya azabku sangatlah pedih,(“Q.S.Ibrahim:7”)Mensyukuri nikmat akan terasa indah dimana kita melakukannya dengan sepenuh hati,dengan demikian,tatkala kita mendapatkan karunia nikmat yang banyak,maka berbagilah juga dengan orang lain,agar mereka ikut merasakan nikmat yang kita rasakan,InsyAllah kita akan terus diberi kelancaran dalam urusan dunia akhirat..Amin Ya Rob.

Menentukan awal Ramadhan

Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu Hisab.

Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah : 186 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa".

Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا

"Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah".

Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.

Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab : "Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka". Lihat Subulus Salam 2/242.

Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : "Ini adalah madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas". Lihat : Subulus Salam 2/242.

Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : "Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ

"Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari)".

Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga).

Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

"Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa".

Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : "Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)".

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : "…karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-...".

Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul Ahwadzy) : "Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan…".

Berkata Imam An-Nawawy : "Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah". Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.

Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.